Disaat demam Piala Dunia menjangkiti seluruh negeri, ada saudara-saudara kita di beberapa tempat di Indonesia yang terpaksa harus kecewa. Kecewa karena demam yang membuat seluruh dunia berjingkrak, dan sejenak melupakan masalah-masalah hidup yang semakin berat dan gonjang politik di negeri ini yang tak kunjung habis, ternyata tidak sampai ke rumah-rumah mereka. Alasannya terdengar simpel dan dapat dimengerti, namun terasa tak adil, “Mati lampu, dapat giliran pemadaman listrik bergilir”.
Dengan contoh mudah itu saja, terlilhat bahwa masalah listrik di Indonesia tidak hanya TDL, tapi masalah ketimpangan dalam basis ketercukupan pasokan. Pemerintah boleh menganggap secara akumulatif, krisis ini level nasional. Namun untuk menyelesaikan masalah ketimpangan (inequality), mau tak mau kita harus berpikir regional. Ini menjadi penting, karena dari pengalaman yang sudah-sudah, krisis listrik yang ditangani oleh pusat tidak pernah terselesaikan, malah menjadi dagangan politik.
Namun bukan berarti dengan berpikir regional, krisis listrik dipindah menjadi dagangan politik di Pemilukada. Berpikir regional tentang listrik lebih kepada berpikir ada usaha-uisaha alternatif yang bisa dilakukan untuk mencukupi kebutuhan listrik di wilayah masing-masing. Salah satu ide yang paling mudah adalah, dengan menggunakan sumber energi angin.
Data Departemen ESDM menunjukkan bahwa kapasitas listrik yang terpasang untuk sumber energi angin di Indonesia baru sekitar 0.6 Megawatt (MW). Bandingkan dengan panas bumi yang mencapai angka 807 MW dan tenaga air yang mencapai 4.200 MW pada tahun 2005. Rendahnya kapasitas terpasang ini disebabkan energi angin di Indonesia tidak dipandang oleh pemerintah nasional sebagai solusi krisis listrik, karena potensi energi angin di Indonesia dianggap relatif kecil.
Ada benarnya, mengingat angin adalah pergerakan massa udara yang terjadi karena perbedaan tekanan udara yang disebabkan oleh perbedaan suhu. Dan karena posisi Indonesia berada di wilayah yang khatulistiwa yang mendapatkan sinar matahari sepanjang tahun. Maka perbedaaan suhu tidaklah terlalu besar, sehingga angin tidaklah besar, setidaknya jika dibandingkan dengan negara yang beriklim dingin.
Meskipun secara umum rata-rata kecepatan angin di Indonesia rendah, namun sudah memadai untuk pembangkit listrik skala kecil yang sesuai dipasang di daerah setempat untuk memenuhi kebutuhan listrik wilayah yang tidak terlalu besar. Sedangkan untuk wilayah-wilayah yang kecepatan anginnya tinggi pembangkit listrik skala besar memungkinkan untuk dikembangkan.
Sebuah penelitian di ITB pada tahun 2008 mengungkap bahwa ternyata di beberapa daerah tertentu, khususnya di kawasan timur Indonesia, kecepatan angin ternyata melebihi 5 meter per detik (m/s) dengan perkiraan potensi energi angin setara dengan 450.000 MW. 5 m/s merupakan kecepatan minimal yang bisa digunakan untuk menghasilkan energi listrik dengan menggunakan kincir angin dengan jenis turbin rotor horizontal berdiameter sepuluh meter. Pada wilayah-wilayah berpotensi inilah berpikir regional harus diterapkan. Diharapkan di wilayah-wilayah berpotensi ini diterapkan teknologi yang memungkinkan masing-masing regional berdikari terhadap kebutuhan listrik.
Selain bisa memanfaatkan potensi SDA setempat, potensi energi angin sebagai alternatif dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian energi fosil. Turbin angin juga tidak mengotori lapisan atmosfir dengan gas asam-arang, belerang hidrokarbon, ataupun limbah radio aktif. Namun seperti pedang bermata dua, meski termasuk teknologi cinta lingkungan karena tidak mengeluarkan emisi, tetap terdapat beberapa masalah yang dihasilkan turbin angin seperti suara yang dihasilkan baling-baling, pantulan gelombang elektromagnetik, dan ukuran turbin yang dapat mengancam kehidupan burung.
Dengan memanfaatkan potensi angin di wilayah masing-masing dimungkinkan untuk memunculkan wilayah-wilayah yang lebih tahan terhadap krisis listrik. Wilayah yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap pasokan listrik dari PLN atau sekurangnya memiliki cadangan listrik ketika mendapatkan giliran pemadaman mengingat listrik dapat disimpan (storable). Sebuah langkah untuk menciptakan Indonesia yang lebih mandiri dan inovatif. Mari berpikir regional.
*dimuat di KORAN SINDO 23 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar