Jumat, 25 Juni 2010

Mandiri Bersama Angin *

Disaat demam Piala Dunia menjangkiti seluruh negeri, ada saudara-saudara kita di beberapa tempat di Indonesia yang terpaksa harus kecewa. Kecewa karena demam yang membuat seluruh dunia berjingkrak, dan sejenak melupakan masalah-masalah hidup yang semakin berat dan gonjang politik di negeri ini yang tak kunjung habis, ternyata tidak sampai ke rumah-rumah mereka. Alasannya terdengar simpel dan dapat dimengerti, namun terasa tak adil, “Mati lampu, dapat giliran pemadaman listrik bergilir”.

Dengan contoh mudah itu saja, terlilhat bahwa masalah listrik di Indonesia tidak hanya TDL, tapi masalah ketimpangan dalam basis ketercukupan pasokan. Pemerintah boleh menganggap secara akumulatif, krisis ini level nasional. Namun untuk menyelesaikan masalah ketimpangan (inequality), mau tak mau kita harus berpikir regional. Ini menjadi penting, karena dari pengalaman yang sudah-sudah, krisis listrik yang ditangani oleh pusat tidak pernah terselesaikan, malah menjadi dagangan politik.

Namun bukan berarti dengan berpikir regional, krisis listrik dipindah menjadi dagangan politik di Pemilukada. Berpikir regional tentang listrik lebih kepada berpikir ada usaha-uisaha alternatif yang bisa dilakukan untuk mencukupi kebutuhan listrik di wilayah masing-masing. Salah satu ide yang paling mudah adalah, dengan menggunakan sumber energi angin.

Data Departemen ESDM menunjukkan bahwa kapasitas listrik yang terpasang untuk sumber energi angin di Indonesia baru sekitar 0.6 Megawatt (MW). Bandingkan dengan panas bumi yang mencapai angka 807 MW dan tenaga air yang mencapai 4.200 MW pada tahun 2005. Rendahnya kapasitas terpasang ini disebabkan energi angin di Indonesia tidak dipandang oleh pemerintah nasional sebagai solusi krisis listrik, karena potensi energi angin di Indonesia dianggap relatif kecil.

Ada benarnya, mengingat angin adalah pergerakan massa udara yang terjadi karena perbedaan tekanan udara yang disebabkan oleh perbedaan suhu. Dan karena posisi Indonesia berada di wilayah yang khatulistiwa yang mendapatkan sinar matahari sepanjang tahun. Maka perbedaaan suhu tidaklah terlalu besar, sehingga angin tidaklah besar, setidaknya jika dibandingkan dengan negara yang beriklim dingin.

Meskipun secara umum rata-rata kecepatan angin di Indonesia rendah, namun sudah memadai untuk pembangkit listrik skala kecil yang sesuai dipasang di daerah setempat untuk memenuhi kebutuhan listrik wilayah yang tidak terlalu besar. Sedangkan untuk wilayah-wilayah yang kecepatan anginnya tinggi pembangkit listrik skala besar memungkinkan untuk dikembangkan.

Sebuah penelitian di ITB pada tahun 2008 mengungkap bahwa ternyata di beberapa daerah tertentu, khususnya di kawasan timur Indonesia, kecepatan angin ternyata melebihi 5 meter per detik (m/s) dengan perkiraan potensi energi angin setara dengan 450.000 MW. 5 m/s merupakan kecepatan minimal yang bisa digunakan untuk menghasilkan energi listrik dengan menggunakan kincir angin dengan jenis turbin rotor horizontal berdiameter sepuluh meter. Pada wilayah-wilayah berpotensi inilah berpikir regional harus diterapkan. Diharapkan di wilayah-wilayah berpotensi ini diterapkan teknologi yang memungkinkan masing-masing regional berdikari terhadap kebutuhan listrik.

Selain bisa memanfaatkan potensi SDA setempat, potensi energi angin sebagai alternatif dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian energi fosil. Turbin angin juga tidak mengotori lapisan atmosfir dengan gas asam-arang, belerang hidrokarbon, ataupun limbah radio aktif. Namun seperti pedang bermata dua, meski termasuk teknologi cinta lingkungan karena tidak mengeluarkan emisi, tetap terdapat beberapa masalah yang dihasilkan turbin angin seperti suara yang dihasilkan baling-baling, pantulan gelombang elektromagnetik, dan ukuran turbin yang dapat mengancam kehidupan burung.

Dengan memanfaatkan potensi angin di wilayah masing-masing dimungkinkan untuk memunculkan wilayah-wilayah yang lebih tahan terhadap krisis listrik. Wilayah yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap pasokan listrik dari PLN atau sekurangnya memiliki cadangan listrik ketika mendapatkan giliran pemadaman mengingat listrik dapat disimpan (storable). Sebuah langkah untuk menciptakan Indonesia yang lebih mandiri dan inovatif. Mari berpikir regional.

*dimuat di KORAN SINDO 23 Juni 2010

Selasa, 15 Agustus 2006

ada apa dengan Perda Syariah?

Akhir-akhir ini sering terdengar pro-kontra tentang pemberlakuan peraturan daerah Syari’ah di tak kurang dari 37 kabupaten di Indonesia. Pro-kontra yang muncul sangat beragam sesuai dengan kepentingan masing-masing yang diemban oleh pihak tersebut. Mulai dari ‘pembenaran’ tentang hukum Islam, kedudukan hukum Perda, sampai dengan rasa pesimis maupun optimis akan keberhasilan Perda tersebut. Beragam kepentingan dan beragam pola pandang yang berujung pada perdebatan tiada henti dan tidak menyelesaikan masalah.



Perda Syari’ah berangkat dari kebutuhan peningkatan moral suatu daerah. Selama ini di Indonesia memang terbukti bahwa norma agama selalu menjadi pengendali terbaik penyimpangan moral. Dalam artian, setiap orang yang mengerti agama dan menjunjung norma agama akan selalu berusaha menghindarkan dirinya dari sikap-sikap amoral maupun tindakan penyimpangan lainnya. Kemudian, lembaga eksekutif daerah mengakomodir kepentingan moral itu dalam bentuk sebuah Peraturan Daerah dengan persetujuan lembaga legislatif daerah tersebut.



Namun tidak begitu saja Perda Syari’ah bisa dijalankan sama rata bagi semua orang. Karena dalam kenyataannya ketentuan agama islam tidak dapat diterima semua pihak, termasuk orang islam itu sendiri. Ketakutan akan ‘kejamnya’ hukum Islam selalu mengusik rasa kemanusiaan untuk mencoba mencari kebenaran tentang pantas tidaknya Perda Syari’ah diberlakukan. Ada berapa unsur permasalahan pokok dan asumsi-asumsi yang akan kita coba temukan penyebabnya disini.



Perda Syari’ah tidak demokratis dan Cacat Hukum.


Salah satu syarat berlakunya hukum adalah universal. Sebuah hukum yang tidak universal tidak dapat diterima sebagai bentuk hukum yang notabene akan dijalankan oleh semua pihak. Dalam hal ini, Kontra Perda Syari’ah tidak dapat diterima sebagai sebuah bentuk hukum yang konstitusionil karena ternyata tidak semua orang beragama Islam. Bahkan, Sebagian umat Islam tidak setuju hukum Islam diberlakukan. Alasannya, karena Indonesia adalah negara berdasarkan Hukum, bukan berdasarkan Islam.

Dari konteks ini ada beberapa poin yang harus kita perhatikan. Pertama, Perda Syari’ah adalah sebuah Peraturan Daerah. Maksudnya disini adalah Peraturan yang berasal, digodok, dan disetujui dan disahkan oleh Daerah tersebut. Jadi, peraturan ini digagas, disetujui dan disahkan oleh lembaga legislatif dan eksekutif daerah tersebut. Dan ini sangat demokratis sekali. Kedua, Perda tidak cacat hukum. Hal ini karena menurut UU otonomi daerah, setiap daerah bisa menentukan peraturan yang akan diberlakukan di daerahnya. Dan ini berlaku universal di daerah tersebut dengan tetap memperhatikan keberagaman. Dan biasanya, suatu Perda Syari’ah hanya akan muncul pada Daerah yang relatif berlatar belakang agama Islam homogen dan mayoritas. Tidak akan mungkin Perda Syari’ah akan muncul di Kota Jakarta. Yang ada hanya mungkin di kota Bulukumba, di Lhokseumawe, Banda Aceh, Padang atau Padangpanjang. Yang lebih aneh, masyarakat di daerah yang tidak diberlakukan Perda ini lebih cemas dari pada yang sudah menjalani. “lebih panas tadah dari gelas”. (Ingat ketika anda minum kopi ‘kan?)



Agama Islam tidak boleh dipaksakan, jadi tidak boleh di-Perda-kan.

Jujur saja, pertama kali mendengar pernyataan ini saya tertawa keras sekali sampai cecak yang biasanya ada di dinding kamar saya menghilang beberapa hari. Mungkin harus ke ahli THT. Dan sayangnya, pernyataan ini keluar dari lidah seorang cendikiawan muslim. Sejenak saya berpikir mungkin setelah ini banyak orang bisa mengklaim dirinya sebagai seorang cendikiawan muslim. Yah, karena gampang sekali untuk mendapatkan gelar cendikiawan muslim dengan pengetahuan agama yang sepertinya sangat dangkal. Mungkin berikutnya harus didefinisikan ulang tentang cendikiawan muslim. Cendikiawan muslim sepertinya sekarang adalah seorang cendikia yang beragama islam. Tapi tidak harus mengerti islam. Kata muslim hanya adalah untuk menyatakan bahwa agama sang cendikia ini adalah muslim. Halah. Sudahlah.

Maksud sang cendikia kita adalah mengutip satu ayat di Alquran tentang agama Islam tidak boleh dipaksakan. Hal ini benar, setiap orang islam tidak boleh memaksa orang yang berkeyakinan lain untuk memeluk agama islam. Yang harus diperhatikan adalah ayat ini adalah untuk penyebaran agama. Sedangkan untuk setiap umat islam, dalam agama islam wajib bagi mereka untuk selalu patuh dan taat pada syariat yang berlaku dalam islam itu. Kalau memang tidak harus, tidak mungkin ada yang namanya Hukum Islam. Yang namanya Hukum itu mengikat. Nah, untuk menghindari dua hukum di satu objek hukum, dalam hal ini hukum formal mengakomodir hukum Islam didalamnya. Saya tekankan lagi, hanya di daerah-daerah tertentu saja dalam proses yang demokratis.



Lha, yang agama lain bagaimana?

Untuk menjawab pertanyaan ini sebenarnya tidak cukup hanya penjelasan teoritis tentang tenggang rasa saja. Kita nantinya harus melihat kenyataan dari daerah yang telah melakoni Perda ini.

Biasanya, Perda Syari’ah ini tidak berlaku untuk warga daerah yang beragama lain. Contohnya saja, tentang keharusan pemakaian jilbab. Setiap yang bukan muslim tidak harus memakai jilbab itu. Ini dibebaskan. Tapi biasanya warga daerah yang tidak memakai jilbab akan memakai baju yang relatif lebih longgar kalau tidak mau dikatakan baju kurung. Hal ini adalah semata-mata solidaritas, tidak ada paksaan sedikitpun. Normalnya seperti ini. Dan jika ada penyimpangan berupa pemaksaan atau hal lainnya, berarti daerah itu sendiri telah menyimpang dari Islam itu sendiri. Karena sebenarnya tidak ada paksaan dalam norma agama untuk hal seperti ini (setahu saya. Ye....).



Pesimis Akan Berhasilnya Perda Syari’ah

Selama ini kita sibuk mengkritisi setiap inovasi yang tidak lazim dilakukan. Kita harus ingat juga bahwasannya setiap yang diawali oleh niat yang baik yaitu demi meningkatkan moral bangsa selalu kita diiringi dengan doa. Termasuk untuk hal ini, kontra pasti ada, tetapi tidakkah kita bisa menghargai usaha ini? Karena kalau hanya mengandalkan yang lama Indonesia tidak lebih dari bangsa yang di-cap Amoral! Dan sayangnya sampai sekarang moral itu tak ada standar definisi yang jelas. Kapan orang dikatakan bermoral dan kapan tidak. Standarisasi?? (sepertinya harus, dan segera!!)